Beranda | Artikel
Mengkritisi Para Praktisi Ekonomi Syariah (seri 2)
Selasa, 1 April 2014

Kritikan kedua: konsep ekonomi Qarun

Perhatian para praktisi ekonomi konvensional atau syariat, hingga saat ini, hanya terpusat pada upaya mewujudkan keuntungan, menghindarkan kerugian, dan memeratakan kesejahteraan. Bahkan, ada yang bermimpi untuk melawan ketentuan Allah ta’ala, yaitu dengan menghapuskan kemiskinan hingga 0%!

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan antara mereka, penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari segala sesuatu yang mereka kumpulkan.” (QS. Az-Zukhruf:32)

Banyak praktisi ekonomi syariat melalaikan hubungan rezeki dengan Allah ta’ala. Karenanya, betapa sering kita mendengar luapan kekecewaan hati mereka. Menurut mereka, Singapura, Inggris, dan berbagai negara kafir lainnya telah lebih dahulu menjadi pusat ekonomi Islam dibanding Indonesia. (http://majalahekonomisyariah.com/index.php/web/news/index/2/125320961)

Padahal, tidak dapat diragukan bahwa negara-negara tersebut jauh dari dasar utama ekonomi syariat Islam ini. Apalah gunanya keuntungan besar bila para pelaku ekonomi jauh dari pijakan dan dasar ini? Keuntungan besar dan kesuksesan bisnis di dunia tidak cukup sebagai bukti bahwa sistem yang diterapkan telah selaras dengan syariat Islam.

Keuntungan yang besar bisa saja dicapai oleh orang-orang yang tidak beriman kepada Allah ta’ala, dan bahkan menerapkan konsep yang nyata-nyata bertentangan dengan agama Islam.

Ingatlah, bagaimana kisah Qarun; simbol saudagar sukses, tetapi karena konsep ekonominya tidak didasari oleh keimanan kepada Allah, maka ia menanggung kebinasaan dunia-akhirat.

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِندِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ مِنَ القُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَن ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ

Qarun berkata, ‘Sesungguhnya, aku mendapatkan harta kekayaan itu hanya karena kecerdasanku.’ Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak kumpulan hartanya?” (QS. Al-Qashash:78)

Keimanan ini adalah syarat utama agar suatu sistem atau konsep dapat dinyatakan sebagai “syariat Islam”. Secara lahir, bisa saja dua amalan serupa, tetapi pada hakikatnya, dua amalan itu sangat berbeda. Simaklah hadits berikut,

عَنْ أَبِى مُوسَى – رضى الله عنه – قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ ، فَمَنْ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِىَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ متفق عليه

Abu Musa radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seorang lelaki yang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia bertanya, ‘Ada seseorang yang berjuang, hanya karena ingin mendapatkan harta rampasan perang. Ada lagi yang berjuang demi popularitas, dan ada pula yang berjuang agar orang lain menyaksikan keberaniannya di medan perang. Siapakah dari mereka yang disebut ‘berjuang di jalan Allah’?’

(Menjawab pertanyaan ini), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa yang berjuang demi menjadikan hukum Allah menjadi berjaya, maka ialah pejuang di jalan Allah.`” (Muttafaqun ‘alaih)

Saudaraku, akankan Anda masih silau dengan derasnya dana-dana dari Timur Tengah yang mengalir ke Singapura atau Australia, setelah membaca dalil-dalil di atas dan merenungkan kisah Qarun?

Masih layakkah bagi umat Islam, terlebih para pakar ekonomi Islam, untuk merasa silau dengan beberapa konsep negara kafir yang tampak serupa dengan syariat Islam?

Perkenankan saya bertanya, “Menurut Anda, apakah sama antara orang yang tidak mencuri karena tidak memiliki kesempatan dengan orang yang tidak mencuri karena takut kepada Allah?”

Kritikan ketiga: penyebab kerugian usaha

Sepanjang sejarah, dunia usaha senantiasa dihiasi dengan kisah-kisah unik seputar keuntungan dan kerugian. Dua kenyataan–manis dan pahit–ini selalu bersandingan dan tidak pernah bisa dipisahkan. Kerugian usaha memiliki banyak faktor penyebab, dimulai dari kesalahan manusia, musibah, hingga dosa para pelaku usaha.

Gambaran mudah hubungan antara kerugian dengan dunia usaha, bagaikan seorang pengendara kendaraan dengan berbagai kecelakaan yang ia alami. Ia bisa saja mengalami kecelakaan, karena faktor kesalahannya, kerusakan pada kendaraan, atau kerusakan pada jalan. Tidak jarang pula, kecelakaan terjadi karena murni atas kekuasaan Allah, untuk menguji kadar keimanan pengendara kendaraan.

Karena itu, tidak perlu Anda berkecil hati bila suatu saat Anda mengalami kerugian usaha, padahal Anda rajin beribadah dan sepenuhnya menjalankan syariat Islam dalam perniagaan Anda.

Pada suatu hari, sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً؟ قَالَ: الأَنْبِيَاءُ . قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ:  ثُمَّ الصَّالِحُونَ، إِنْ كَانَ أَحَدُهُمْ لَيُبْتَلَى بِالْفَقْرِ، حَتَّى مَا يَجِدُ أَحَدُهُمْ إِلاَّ الْعَبَاءَةَ يُحَوِّيهَا، وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمْ لَيَفْرَحُ بِالْبَلاَءِ كَمَا يَفْرَحُ أَحَدُكُمْ بِالرَّخَاءِ. رواه أحمد وابن ماجة وصححه الألباني

“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para nabi.” Kembali, Abu Sa’id bertanya, “Wahai Rasulullah, selanjutnya siapa?” Beliau kembali menjawab, “Orang-orang saleh, ada dari mereka yang dicoba dengan kemiskinan, sampai-sampai ia tidak memiliki harta kekayaan kecuali baju yang melekat di badannya. Dan sungguh, ia berbahagia dengan kemiskinan yang ia melilitnya, layaknya engkau berbahagia dengan kelapangan (kemakmuran).” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah; oleh Al-Albani dinyatakan sebagai hadits sahih)

Muhammad bin Sirin adalah seorang ulama besar yang berprofesi sebagai seorang saudagar. Akan tetapi, pada akhir hayatnya, beliau ditimpa pailit dan terlilit utang sebesar tiga puluh ribu dirham, sehingga beliau pun dipenjara. Beliau baru dapat terbebas dari penjara setelah salah seorang putranya, yang bernama Abdullah, melunasi utangnya.

Yang unik dan layak menjadi pelajaran dari kisah beliau, adalah pengakuannya tentang penyebab beliau ditimpa kerugian dan musibah ini. Beliau berkata, “Sesungguhnya, aku tahu penyebab diriku dililit utang, yaitu ucapanku kepada seseorang ketika 40 tahun silam,  ‘Wahai orang pailit…`” Tatkala kisah pengakuan ini sampai ke telinga Abu Sulaiman Ad-Darani, ia berkata, “Dosa-dosa mereka itu begitu sedikit, sehingga mereka mengetahui dari mana mereka ditimpa petaka. Sedangkan kita, dosa kita begitu banyak maka tidak heran bila kita tidak tahu, dosa manakah yang menyebabkan kita ditimpa musibah.” (Hilyatul Auliya’, 2:271, oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani)

Oleh karena itu, sudah sepantasnya bila para praktisi ekonomi Islam benar-benar mengembalikan urusan rezeki kepada Allah, sehingga kebahagian hidup yang merupakan cita-cita setiap umat Islam dapat tercapai, walau mungkin saja, urusan rezeki mereka kadang seret. Tidak sepantasnya, kebahagian dan kedamaian hidup umat Islam digantungkan sepenuhnya dengan urusan harta benda. Akan tetapi, sepantasnya digantungkan dengan Allah ta’ala. Bila Anda puas dengan karunia Allah maka kebahagian hidup pun menjadi milik Anda.

(إن اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يبتلي عَبْدَهُ بِمَا أَعْطَاهُ فَمَنْ رضي بِمَا قَسَمَ الله عز وجل له بَارَكَ الله له فيه وَوَسَّعَهُ وَمَنْ لم يَرْضَ لم يُبَارِكْ له ولم يزده على ما كتب له (رواه أحمد والبيهقي وصححه الألباني

Sesungguhnya, Allah yang Mahaluas karunia-Nya lagi Mahatinggi akan menguji setiap hamba-Nya dengan rezeki yang telah Ia berikan kepadanya. Barang siapa yang ridha dengan pembagian Allah ‘Azza wa Jalla maka Allah akan memberkahi dan melapangkan rezeki tersebut untuknya. Barang siapa yang tidak ridha (tidak puas), niscaya rezekinya tidak akan diberkahi.” (HR. Imam Ahmad; dinilai sahih oleh Al-Albani)
 
Sebaliknya, bila Anda berlari mengejar ambisi dan keserakahan dunia, niscaya Anda tidak akan pernah mengenyam kebahagian hidup, walau hanya sekejap mata.

(تَعِسَ عبد الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ إن أُعْطِيَ رضي وَإِنْ لم يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وإذا شِيكَ فلا انْتَقَشَ (رواه البخاري

Semoga pemuja dinar, dirham, dan baju sutra (pemuja harta kekayaan, pent.) menjadi sengsara! Bila diberi, ia merasa senang, dan bila tidak diberi, ia menjadi benci. Semoga ia menjadi sengsara dan semakin sengsara (bak jatuh tertimpa tangga pula), dan bila ia tertusuk duri, semoga tiada yang kuasa mencabut duri itu darinya.” (HR. Bukhari)

Kritikan keempat: pembelanjaan harta

Saya tidak meragukan bahwa metode menghasilkan kekayaan dan keuntungan yang selaras dengan syariat Allah adalah bagian dari prinsip ekonomi Islam. Akan tetapi, itu hanyalah separuh dari syariat Islam dan belum seutuhnya, karena syariat Islam juga mengatur metode pembelanjaan harta kekayaan yang berhasil diperoleh.

Bisa saja Anda mendapatkan harta kekayaan dari jalur-jalur yang halal, namun karena salah membelanjakannya maka Anda tidak layak untuk menyandang predikat “ekonom muslim”. Predikat “ekonom muslim” hanya dapat disandang oleh orang yang berhasil meraup keuntungan dari jalan-jalan yang halal, dan selanjutnya membelanjakannya dengan cara yang halal dan pada jalan yang halal.

Karenanya, dalam urusan ekonomi, Islam mengajarkan prinsip: dari mana engkau mendapatkan dan ke mana engkau belanjakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

(لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ (رواه الترمذي وصححه الألباني

“Kelak, di hari kiamat, tidaklah kedua kaki setiap hamba dapat bergeser hingga ia mempertanggungjawabkan empat hal: tentang umurnya, untuk urusan apa ia habiskan; ilmunya, amalan yang ia lakukan dengannya; harta kekayaannya, asal-muasal ia mendapatkannya dan pembelanjaan yang dia lakukan dengannya; raganya, untuk urusan apa ia gunakan.” (HR. At-Tirmidzi; oleh Al-Albani dinilai sebagai hadits sahih)

Hadits ini mengantarkan kita kepada satu kesimpulan besar: Ekonomi Islam hanya bisa diterapkan dan dimiliki oleh umat Islam. Dasar dari kesimpulan ini ialah karena orang-orang kafir atau negara kafir tidak mungkin mengindahkan syariat Islam dalam hal pembelanjaan harta kekayaan.

Dengan demikian, tidak sepantasnya bila umat Islam–dan para pakar ekonomi Islam secara khusus–hanya mencurahkan perhatian pada metode meraup keuntungan. Sudah saatnya pula, kita semua menggalakkan dan menyeru masyarakat Islam secara luas untuk mengindahkah syariat Islam dalam hal pembelanjaan harta kekayaan.

Bagaimana dengan diri Anda, Saudaraku? Sudahkah Anda mengindahkan syariat Allah dalam perekonomian? Dari mana Anda mendapatkan kekayaan dan ke mana Anda membelanjakannya?

Penutup

Saudaraku, apakah Anda mendampakan perekonomian umat tegak berdiri di atas syariat Islam? Menurut Anda, kapankah impian Anda ini dapat terwujud?

Tidak perlu khawatir, Saudaraku. Impian Anda mudah terwujud dan segera terwujud, insya Allah, bila Anda telah memulainya. Tiada perlunya Anda menanti orang lain yang memulai. Akan tetapi, Andalah yang sepantasnya menjadi pejuang terdepan. Dengan demikian, saudara-saudara Anda yang lainnya akan segera menyusul langkah Anda. Semoga paparan singkat ini bermanfaat bagi Anda, dan saya mohon maaf atas kekurangan dan kesalahan. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Artikel www.PengusahaMuslim.com


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/2158-mengkritisi-para-praktisi-ekonomi-syariah-seri-2.html